Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya film terbaru MCU, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings, tayang perdana di layar lebar Indonesia hari Rabu, 22 September. Kultur Klub sudah sempat nonton, belum? Kalau belum nonton atau belum tertarik, mungkin sedikit ‘review’ dari Subkultur bisa mendorong kalian untuk menyaksikan sang master kung-fu satu ini. Tenang saja, review ini bebas spoiler!
Kultur Tiongkok yang Dikemas dengan Segar
Tentunya kita sudah mengetahui bahwa Shang-Chi akan menjadi superhero pertama dalam Marvel Cinematic Universe dari negeri tirai bambu. Jujur saja, tidak sedikit Subkultur melihat netizen yang memprediksi bahwa film ini akan gagal. Mungkin hal ini dikarenakan tidak banyak orang menikmati film laga Tiongkok yang selalu kental dengan kung-fu dan seni bela diri Asia. Namun, MCU membuktikan bahwa mereka dapat mengemas genre dan style ini dengan sangat baik.
Sama seperti makna Black Panther terhadap orang Afrika dan Afrika-Amerika, begitu pula Shang-Chi merupakan sebuah representasi penting bagi orang Asia dan Asia-Amerika di panggung besar Hollywood. Marvel mengambil langkah berani untuk tetap menghadirkan bahasa dan budaya Tiongkok dan membentuknya menjadi sebuah film superhero yang tidak ‘memaksa’. Jika tidak dihadirkannya karakter-karakter dari MCU, film Shang-Chi tidak terasa seperti berada dalam Marvel Universe. Sajian yang begitu kolosal seperti sinema laga Mandarin, dibalut dengan folklore ala negeri tirai bambu mampu membawa penonton lupa bahwa Shang-Chi adalah wajah baru dalam Marvel Cinematic Universe.
Shang-Chi memiliki pesona tersendiri dibandingkan dengan film superhero yang biasa digarap oleh Marvel. Dari costume design sampai setting, atmosfer ke-Tiongkok-an yang dibangun berhasil membawa penonton ke dunia fantasi yang memanjakan mata. Terima kasih kepada tim CGI film Shang-Chi yang sudah bekerja keras!
Directing, Sinematografi, dan Scoring yang Ciamik
Salah satu hal yang mencuri perhatian dari film Shang-Chi adalah bagaimana Destin Daniel Cretton, sang sutradara, berhasil mengarahkan visual dan mengemasnya dengan luar biasa. Pengarahan sinematografi Cretton berhasil memberi shots yang indah. Begitu pula dengan koreografi kung-fu pada adegan laganya. Dengan gerakan-gerakan bela diri yang mengalir namun mantap, unsur action pada Shang-Chi disuguhkan dalam porsi yang pas.

Pada beberapa adegan, tidak hanya visual yang mantap, namun juga scoring yang menakjubkan. Terdapat banyak lantunan guzheng, alat musik tradisional Tiongkok, yang diselipkan, membuat budaya Tiongkok semakin terasa dalam setiap sudut film. Perpaduan antara guzheng, instrumen orkestra, dan unsur musik modern membuat adegan klimaks Shang-Chi bikin bulu kuduk merinding!

Tidak lupa juga soundtrack film ini yang bikin orang Indonesia bangga. Yup! Rich Brian dan NIKI, rapper dan penyanyi asal Indonesia, ikut menyumbangkan suaranya untuk mengisi soundtrack Shang-Chi dalam naungan record label 88rising, yang juga menaungi banyak musisi Asia dan Asia-Amerika.
Jadi, setelah membaca sedikit ulasan dari Subkultur, apakah Kultur Klub semakin penasaran dengan film Shang-Chi? Tonton dan nilai sendiri, nanti kita diskusi lagi!
Oh ya, jangan buru-buru keluar dari bioskop ya Kultur Klub, karena ada 2 post-credit scene! Dan jangan lupa selalu terapkan protokol kesehatan ketat di tempat-tempat umum.
Stay safe, stay healthy, and enjoy the show!
Baca juga: https://subkultur.id/sinematelevisi/marvel-cinematic-universe-phase-4/